Suara.com - Praktik perayaan Imlek atau Tahun Baru China nyaris lenyap di Indonesia semasa pemerintahan Orde Baru (Orba) yang berkuasa sampai 32 tahun.
Pasalnya, intruksi Presiden Soeharto Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China, memaksa orang-orang etnis Tionghoa merayakan pesta secara terbatas.
Etnis Tionghoa diperbolehkan untuk merayakan pesta agama dan adat istiadat tetapi dalam suasana tertutup, hanya di lingkungan keluarga saja.
Hal itu kembali diutarakan oleh Wakil Ketua DPR RI, Abdul Muhaimin Iskandar, dalam program Kongko Show Live dari Rumah Komunitas TV, Sabtu (6/2/2021) malam.
Pria yang kerap disapa Gus Ami tersebut mengatakan, sejak zaman Orba, perayaan Imlek terasa seperti hilang ditelan kebijakan pemerintah.

"Ketika zaman Orde Baru dengan berbagai latar belakang, dan dengan pertimbangan Pak Harto sebagai presiden atas nama stabilitas, atas nama macam-macam, konflik politik seterusnya, seluruh tradisi dan budaya Tionghoa dilarang. Termasuk pelarangan Imlek. Bahkan yang sifatnya tradisi-tradisi, hiburan pun dilarang pada waktu itu," ungkap Gus Ami, dikutip Hops.id -- Jaringan Suara.com dari media online milik Nahdlatul Ulama.
Namun, seusai Gus Dur dilantik menjadi Presiden Keempat menggantikan BJ Habibie, konsep kebhinekaan dan pluralisme semakin berkembang. Sebab dia memperkenalkan konsep kebangsaan non-rasial.
Gus Dur menerbitkan Intruksi Presiden (Inpres) No. 6/2000 yang menggeser kebijakan sebelumnya yakni Inpres No. 14/1967.
Hal itu didukung oleh keluarga besar NU, termasuk para Nahdliyin dan PKB yang sepakat dengan komitmen Gus Dur menghapuskan diskriminasi berkedok SARA.
Baca Juga: Sambut Imlek, MTA Hadirkan Dekorasi Lampion yang Instagramable
"Ketika Gus Dur dilantik menjadi presiden, komitmen Gus Dur, PKB, dan seluruh keluarga besar NU juga adalah bahwa tidak ada lagi diskriminasi kepada siapapun. Maka Keppres (inpres) yang mengatur dan melarang itu dihapus langsung," kata Gus Ami.